Silsilah Kerajaan Sakya
Pada zaman dahulu di daerah Majjhima (daerah tengah dari Jambudipa), suku Bangsa Ariyaka yang datang dari utara Pegunungan Himava (Himalaya) membentuk sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sakya. Kata Sakya diambil karena pada saat itu banyak sekali Hutan Pohon Sakka di sekitar daerah tersebut. Suatu masa tibalah masa kepemerintahan bagi Raja Okkaka di kerajaan tersebut. Beliau memiliki 4 orang Pangeran (Okkamukha, Karanda, Hatthinika dan Sinipura) serta 5 orang Putri. Pada suatu hari, Ratu (istri Raja Okkaka, yang juga masih saudara kandungnya) meninggal dunia. Kemudian Raja menikah lagi dengan seorang gadis yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Raja sangat gembira, sehingga Beliau melepaskan kata-kata yang menjadi bumerang baginya sendiri. Raja mengucapkan janji kepada Ratu (istri Raja Okkaka yang baru) bahwa beliau akan meluluskan semua permintaan Ratu. Dalam kesempatan itu, Ratu memohon kepada Raja agar anak laki-lakinya diangkat menjadi Putra Mahkota (pewaris kerajaan). Mendengar permohonan Ratu itu, Raja Okkaka menjadi kaget dan menolak untuk meluluskannya. Namun Ratu terus merengek dan mengingatkan Raja akan janjinya yang pernah beliau ucapkan. Karena malu, maka Raja pun akhirnya meluluskan permohonan Ratu tersebut.
Raja Okkaka kemudian memanggil keempat Pangeran dan memerintahkan mereka untuk membawa semua saudari kandung mereka untuk pergi ke suatu daerah lain dan membangun negeri baru. Keempat Pangeran beserta kelima Putri kemudian mohon diri dari Ayahandanya, dan bersama rombongan dalam jumlah yang besar, mereka pergi ke sebuah hutan lain yang banyak ditumbuhi Pohon Sakka, di lereng Gunung Himalaya. Di dekat daerah tersebut ada seorang petapa bernama Kapila yang tinggal di sana. Karena itulah, maka kota yang dibangun itu diberi nama Kapilavatthu (vatthu = tempat). Di kerajaan itulah, mereka menikah di antara sesama saudara, kecuali Putri yang tertua menikah dengan Raja dari Devadha. Empat pasangan yang pertama merupakan leluhur dari Kerajaan Suku Sakya, dan satu pasangan lainnya merupakan leluhur dari Kerajaan Koliya.
Pada suatu waktu ketika Raja Jayasena memerintah di Kapilavatthu, beliau memiliki seorang Pangeran bernama Sihahanu dan seorang Putri bernama Yasodhara. Setelah Raja Jayasena meninggal, Pangeran Sihahanu menjadi Raja di Kapilavatthu dan menikah dengan Putri Kancana, yaitu adik dari Raja Anjana (Kerajaan Devadha). Mereka memiliki lima orang Pangeran yang diberi nama Suddhodana, Sukkodhana, Amitodhana, Dhotodana dan Ghanitodana serta dua orang Putri yang diberi nama Pamita dan Amita. Adik dari Raja Sihahanu, yaitu Putri Yasodhara, menikah dengan Raja Anjana dari Devadha dan memiliki dua orang Pangeran yang diberi nama Suppabuddha dan Dandapani serta dua orang Putri yang diberi nama Maya dan Pajapati (Gotami).
Setelah Raja Sihahanu mangkat, Pangeran Suddhodana pun naik tahta dan menikahi Putri Maya. Adik Raja Suddhodana yang bernama Sukkodana, kemudian menikah dan mempunyai putra yang bernama Ananda. Amitodhana mempunyai dua orang putra yang bernama Mahanama dan Anurudha, serta seorang putri bernama Rohini. Sedangkan adik perempuannya yang bernama Amita, menikah dan mempunyai seorang putra bernama Devadatta dan seorang putri yang bernama Yasodhara.
Lahirnya Pangeran Siddhattha Gotama
Meski Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun mereka masih belum mendapatkan keturunan. Suatu masa ketika Ratu Maya berusia 45 tahun, Ratu mengikuti perayaan Asadha yang berlangsung tujuh hari lamanya. Setelah perayaan selesai, Ratu kemudian mandi dengan air wangi dan setelah itu ia mengucapkan janji Uposatha. Selanjutnya ia pun pergi beristirahat di kamarnya. Dalam tidurnya, Ratu Maya bermimpi bahwa ada empat orang Dewa Agung yang mengantarnya ke Gunung Himalaya, kemudian membawanya ke Pohon Sala di Lereng Manosilatala. Lalu para istri dari Dewa-dewa Agung tersebut memandikannya di Danau Anotta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikan pakaian para dewata pada Ratu Maya. Ratu kemudian diajak ke istana emas dan direbahkan di atas dipan yang mewah. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan membawa sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar, kemudian mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk selanjutnya memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan. Setelah itu Ratu Maya terbangun dan tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi yang singkat. Ratu Maya segera bergegas memberitahukan hal ini ke Raja Suddhodana. Para Brahmana pun dipanggil untuk memberi petunjuk akan mimpi tersebut. Setelah menganalisa mimpi ini, para Brahmana meramalkan jika Ratu Maya akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak bisa menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua raja di dunia) atau seorang Buddha (seorang yang mencapai Pencerahan Sempurna). Dan memang tidak lama kemudian, Ratu Maya menyadari bahwa ia sedang hamil. Ratu pun dapat merasakan keberadaan sang bayi yang tumbuh makin besar di dalam rahimnya dalam posisi duduk bermeditasi dengan posisi muka menghadap ke depan.
Ratu Maha Maya bermimpi tentang seekor gajah putih
Sepuluh bulan (Penanggalan Candra Sengkala) kemudian, di Bulan Vaisak, Ratu Maya mohon izin dari Raja Suddhodana untuk dapat bersalin di rumah ibunya (di Kerajaan Devadha). Dalam perjalanannya itu, Ratu Maya beserta seluruh rombongan tiba di Taman Lumbini (sekarang bernama Rumminde di Pejwar, Nepal). Di taman itu, mereka berhenti dan Ratu Maya pun beristirahat. Ratu Maya berjalan-jalan di taman itu dan berhenti di bawah Pohon Sala. Pada saat itulah Ratu Maya merasa akan segera melahirkan. Maka dengan cepat para dayang membuat tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan Pohon Sala, dan dalam sikap berdiri seperti itulah Ratu Maya melahirkan seorang bayi laki-laki. Kejadian itu terjadi tepat pada purnamasidhi (Bulan Purnama yang bulat sempurna) di Bulan Vaisak pada tahun 623 SM. Sekali lagi terjadilah gempa bumi dashyat yang singkat. Empat Maha Brahma menerima sang bayi dengan jala emas. Para Dewa turut bergembira atas kelahiran sang bayi, meski mereka semua tidak dapat terlihat oleh mata manusia biasa. Kemudian dari langit turun air dingin dan panas untuk memandikan sang bayi sehingga menjadi segar. Sang bayi sendiri juga sudah bersih karena tidak ada darah atau noda lain yang melekat pada tubuhnya ketika dilahirkan. Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan tujuh langkah di atas tujuh kuntum bunga teratai ke arah utara. Setelah itu, sang bayi pun kemudian berbicara :
“Aggo ‘ham asmi lokassa,
jettho ‘ham asmi lokassa,
settho ‘ham asmi lokassa,
ayam antima jati,
natthi dani punabbhavo”
Yang artinya :
“Akulah Pemimpin dalam dunia ini,
Akulah Tertua dalam dunia ini,
Akulah Teragung dalam dunia ini,
inilah kelahiranku yang terakhir kali,
tak akan ada tumimbal lahir lagi”
Kelahiran Pangeran Siddhattha di Taman Lumbini
Pada zaman dahulu di daerah Majjhima (daerah tengah dari Jambudipa), suku Bangsa Ariyaka yang datang dari utara Pegunungan Himava (Himalaya) membentuk sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sakya. Kata Sakya diambil karena pada saat itu banyak sekali Hutan Pohon Sakka di sekitar daerah tersebut. Suatu masa tibalah masa kepemerintahan bagi Raja Okkaka di kerajaan tersebut. Beliau memiliki 4 orang Pangeran (Okkamukha, Karanda, Hatthinika dan Sinipura) serta 5 orang Putri. Pada suatu hari, Ratu (istri Raja Okkaka, yang juga masih saudara kandungnya) meninggal dunia. Kemudian Raja menikah lagi dengan seorang gadis yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Raja sangat gembira, sehingga Beliau melepaskan kata-kata yang menjadi bumerang baginya sendiri. Raja mengucapkan janji kepada Ratu (istri Raja Okkaka yang baru) bahwa beliau akan meluluskan semua permintaan Ratu. Dalam kesempatan itu, Ratu memohon kepada Raja agar anak laki-lakinya diangkat menjadi Putra Mahkota (pewaris kerajaan). Mendengar permohonan Ratu itu, Raja Okkaka menjadi kaget dan menolak untuk meluluskannya. Namun Ratu terus merengek dan mengingatkan Raja akan janjinya yang pernah beliau ucapkan. Karena malu, maka Raja pun akhirnya meluluskan permohonan Ratu tersebut.
Raja Okkaka kemudian memanggil keempat Pangeran dan memerintahkan mereka untuk membawa semua saudari kandung mereka untuk pergi ke suatu daerah lain dan membangun negeri baru. Keempat Pangeran beserta kelima Putri kemudian mohon diri dari Ayahandanya, dan bersama rombongan dalam jumlah yang besar, mereka pergi ke sebuah hutan lain yang banyak ditumbuhi Pohon Sakka, di lereng Gunung Himalaya. Di dekat daerah tersebut ada seorang petapa bernama Kapila yang tinggal di sana. Karena itulah, maka kota yang dibangun itu diberi nama Kapilavatthu (vatthu = tempat). Di kerajaan itulah, mereka menikah di antara sesama saudara, kecuali Putri yang tertua menikah dengan Raja dari Devadha. Empat pasangan yang pertama merupakan leluhur dari Kerajaan Suku Sakya, dan satu pasangan lainnya merupakan leluhur dari Kerajaan Koliya.
Pada suatu waktu ketika Raja Jayasena memerintah di Kapilavatthu, beliau memiliki seorang Pangeran bernama Sihahanu dan seorang Putri bernama Yasodhara. Setelah Raja Jayasena meninggal, Pangeran Sihahanu menjadi Raja di Kapilavatthu dan menikah dengan Putri Kancana, yaitu adik dari Raja Anjana (Kerajaan Devadha). Mereka memiliki lima orang Pangeran yang diberi nama Suddhodana, Sukkodhana, Amitodhana, Dhotodana dan Ghanitodana serta dua orang Putri yang diberi nama Pamita dan Amita. Adik dari Raja Sihahanu, yaitu Putri Yasodhara, menikah dengan Raja Anjana dari Devadha dan memiliki dua orang Pangeran yang diberi nama Suppabuddha dan Dandapani serta dua orang Putri yang diberi nama Maya dan Pajapati (Gotami).
Setelah Raja Sihahanu mangkat, Pangeran Suddhodana pun naik tahta dan menikahi Putri Maya. Adik Raja Suddhodana yang bernama Sukkodana, kemudian menikah dan mempunyai putra yang bernama Ananda. Amitodhana mempunyai dua orang putra yang bernama Mahanama dan Anurudha, serta seorang putri bernama Rohini. Sedangkan adik perempuannya yang bernama Amita, menikah dan mempunyai seorang putra bernama Devadatta dan seorang putri yang bernama Yasodhara.
Lahirnya Pangeran Siddhattha Gotama
Meski Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun mereka masih belum mendapatkan keturunan. Suatu masa ketika Ratu Maya berusia 45 tahun, Ratu mengikuti perayaan Asadha yang berlangsung tujuh hari lamanya. Setelah perayaan selesai, Ratu kemudian mandi dengan air wangi dan setelah itu ia mengucapkan janji Uposatha. Selanjutnya ia pun pergi beristirahat di kamarnya. Dalam tidurnya, Ratu Maya bermimpi bahwa ada empat orang Dewa Agung yang mengantarnya ke Gunung Himalaya, kemudian membawanya ke Pohon Sala di Lereng Manosilatala. Lalu para istri dari Dewa-dewa Agung tersebut memandikannya di Danau Anotta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikan pakaian para dewata pada Ratu Maya. Ratu kemudian diajak ke istana emas dan direbahkan di atas dipan yang mewah. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan membawa sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar, kemudian mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk selanjutnya memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan. Setelah itu Ratu Maya terbangun dan tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi yang singkat. Ratu Maya segera bergegas memberitahukan hal ini ke Raja Suddhodana. Para Brahmana pun dipanggil untuk memberi petunjuk akan mimpi tersebut. Setelah menganalisa mimpi ini, para Brahmana meramalkan jika Ratu Maya akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak bisa menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua raja di dunia) atau seorang Buddha (seorang yang mencapai Pencerahan Sempurna). Dan memang tidak lama kemudian, Ratu Maya menyadari bahwa ia sedang hamil. Ratu pun dapat merasakan keberadaan sang bayi yang tumbuh makin besar di dalam rahimnya dalam posisi duduk bermeditasi dengan posisi muka menghadap ke depan.
Ratu Maha Maya bermimpi tentang seekor gajah putih
Sepuluh bulan (Penanggalan Candra Sengkala) kemudian, di Bulan Vaisak, Ratu Maya mohon izin dari Raja Suddhodana untuk dapat bersalin di rumah ibunya (di Kerajaan Devadha). Dalam perjalanannya itu, Ratu Maya beserta seluruh rombongan tiba di Taman Lumbini (sekarang bernama Rumminde di Pejwar, Nepal). Di taman itu, mereka berhenti dan Ratu Maya pun beristirahat. Ratu Maya berjalan-jalan di taman itu dan berhenti di bawah Pohon Sala. Pada saat itulah Ratu Maya merasa akan segera melahirkan. Maka dengan cepat para dayang membuat tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan Pohon Sala, dan dalam sikap berdiri seperti itulah Ratu Maya melahirkan seorang bayi laki-laki. Kejadian itu terjadi tepat pada purnamasidhi (Bulan Purnama yang bulat sempurna) di Bulan Vaisak pada tahun 623 SM. Sekali lagi terjadilah gempa bumi dashyat yang singkat. Empat Maha Brahma menerima sang bayi dengan jala emas. Para Dewa turut bergembira atas kelahiran sang bayi, meski mereka semua tidak dapat terlihat oleh mata manusia biasa. Kemudian dari langit turun air dingin dan panas untuk memandikan sang bayi sehingga menjadi segar. Sang bayi sendiri juga sudah bersih karena tidak ada darah atau noda lain yang melekat pada tubuhnya ketika dilahirkan. Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan tujuh langkah di atas tujuh kuntum bunga teratai ke arah utara. Setelah itu, sang bayi pun kemudian berbicara :
“Aggo ‘ham asmi lokassa,
jettho ‘ham asmi lokassa,
settho ‘ham asmi lokassa,
ayam antima jati,
natthi dani punabbhavo”
Yang artinya :
“Akulah Pemimpin dalam dunia ini,
Akulah Tertua dalam dunia ini,
Akulah Teragung dalam dunia ini,
inilah kelahiranku yang terakhir kali,
tak akan ada tumimbal lahir lagi”
Kelahiran Pangeran Siddhattha di Taman Lumbini
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !